Selasa, 15 Desember 2015

3.12 lainnya

Aku tahu kenapa aku lebih memilihmu utk dermagaku ketimbang istana kecil yg kubangun dengan keterasingan dan ruang penuh buku
Aku tahu kenapa aku lebih memilih menjadi pecandu sukmamu ketimbang dilantunkan nyanyian jiwa dipadang sawah
Aku lebih dari sekedar tahu kenapa kuambil kitab-kitab berdebu itu lalu kubakar sambil kau duduk diatas cumbuku

Akhirnya
Setiap hati kan jenuh pada pelariannya
Pencarian pun ternyata lebih membosankan lagi

Dalam ikhlas, aku belajar sesuatu bernama menerima
Dalam perjalanan aku puas utk renungan
Dan aku lebih dari sekedar sadar bahwa cinta selalu ada bagi hati yg merdeka

Selasa, 08 Desember 2015

1.59

Di latar pagi, entah apaku menjemput lagi resah lama
Sadar, atau rayu siapa tau?
Entah rumah mana yang kutuju, entah pintu mana kan ku ketuk, entah kamar siapa yang mempesiang cumbuku
Siapa tau?
Ini pagi hendak menyibak
Mungkin nanti pecah
Bernanah
Mungkin riuh
Atau masih saja kaku
Palsu
Tetap begitu?
Biar saja! Apa peduliku?
Aku ingin berhenti saja
Mendecah kalau bisa

Bu, singgahlah!
Ajari lagi aku berdiri, berlari
Ajari aku mengucap doa
Ambil lagi hariku yang pernah untukmu
Lalu sekali lagi,
Ajak aku berjalan jauh dengan gandeng tanganmu
Meski senyummu jauh diatas pundakku, aku tau, ada peluk yang siap menunggu
Ambil lagi cium yang hanya untukmu
Lalu ceritakan dongeng tentang pangeran dari Bali itu
Ambil lagi sibuk yang pernah menggaduhmu
Mungkin itu rumahku

Minggu, 11 Oktober 2015

Sesederhana itu

Meski ajaib, meski tak masuk akal
Entah degup yang bagaimana yang berdentuman ini
Tapi ku tak mau ada cemas padaku
Biar saja!
Aku menyayangi sama sederhananya dengan bernafas
Tak perlu ku pusingkan
Hanya ingin terus ada untuk hidup

Entah lega teramat yang seperti apa
Layaknya doa berbalas, kau datang dengan sayayapmu
Entah untuk apa
Entah untuk siapa
Dan sekali lagi, ku tak mau ada cemas padaku
Ku biarkan kau tanpa asalmu
Ku biarkan kau tanpa usulmu
Yang ku pasrahkan candu benar-benar mendekap
Karena cinta pun lebih sederhana
Cukup ku tutup mata, dan kau hadir menjelma

Sebelum benar-benar malam mempesiang jasadku
Melumatnya tanpa ampun
Sebelum bibirku benar-benar pasih
Entah cah'ya centil macam apa jelmamu menjemputku ke perut kelam
Yang ronamu dalam gelap  seperti dekap ibu yang ku rindukan

Bila tuntunmu membunuhku,
Bila kau jelma malam yang lebih gelam,
Ku pasrahkan candu ini membunuh
Karena dalam gelap, kan sama matinya aku
Sesederhana itu

Senin, 05 Oktober 2015

Ketetiadaaku

Aku lupa bahwa aku berasal dari ketetiadaan
Aku lupa bahwa aku hanya sepeluk bayi cengeng
Aku lupa aku tak bisa berlari
Aku lupa pun aku

Aku lupa bahwa aku berasal dari ketetiadaan
Tak bertempat.
Tiada bersukma. Lupa bahwa akulah hampa sempurna
Kosong
Tiada
Kemudian ada. Sementara
Lantas lenyap selamanya

Aku lupa bahwa aku si penangis itu
Lupa betapa tak pedulinya aku pada hari ini
Pada langit siang ini
Hanya untuk bermain!
Pergi tertawa
Bukan untuk hidup dan peduli dengan semua omong kosong ini

Aku lupa untuk setia pada ketetiadaanku
Aku lupa untuk ingat ketetiadaanku
Aku lupa betapa tiadanya aku
Lupa betapa aku pernah ingat
Aku lupa.
Ingat untuk lupa

Jumat, 25 September 2015

Malam Tanpamu

Bu, rehatkan rindumu
Senja sekali sudah, bu
Aku kan berpulang pada masanya, tepat sebelum lelapmu
Janjiku, bu

Kan menjaga malam dan gemintang dikiri-kananmu
Pun dlm gontai sempoyongan, selalu ada tempatmu dlm doa
Tak ada kata yang lebih rindu dari inginku ini
Tapi aku belum kenyang, aku belum lega utk berlari dari

Aku kan berpulang pada masanya, tepat sebelum ayah memegang tanganmu
Tepat sebelum Reksmi menggodamu
Karena tak ada yang lebih rindu dari resahku saat ini
Biar hitamku menemukan cahyanya sendiri

Selasa, 08 September 2015

Ironi (sapa terakhir)

Kita sama mengiring pagi namun tak berjumpa pada senja
Tapi tak apa, mereka sama oranyenya
Yang fajar pecah
Sedang senja begitu senyapnya
Indah bukan?

Lalu kita saling mencubit dibibir ini
Lihatlah siang ini hilang
Tak cerah
Tinggal bangku-bangku basah berusaha hidup dalam lapuknya
Sepi
Pun semua sudah mati bukan?
Habis dibunuh badai  tadi
Ya!
Membunuh mauku
Membunuh jejakmu

Dan kita apakan resah ini nanti?
Ah entahlah, ada lega dalam dada
Jika nokhta secercah masih
Simpan saja!
Atau bunuh bersama doamu
(seperti biasa)

Selasa, 26 Mei 2015

Aku kekasih

Aku cari kamu
Ketika aku bangun dari tidur-tidur
Ketika gaduh tentangmu
Kamu pergi?
Aku cari ketika kamu sudah tak lagi ada
Aku cari kamu
Aku perih
Aku cari
Pulanglah! Aku rumah itu

Aku cari kamu
Untuk menciummu kali ini
Untuk peluk yang pernah ku urungkan
Untuk aku cerita segala gundah
Untuk hangatkan dinginmu
Untuk kamu bagi pelikmu
Untuk kamu rengkuh manjamu
Untuk kamu dekap
Untuk berbagi-mengisi
Aku cari
Aku rindu

Aku kering tanpamu
Berdarah dan kosong
Kembalilah!
Pulanglah!
Menangislah!
Peluk aku
Aku ada untukmu utuh
Kembalilah pada senyum serupa
Aku akan sama telanjang
Untuk dunia baru:
Kamu dan aku

Minggu, 17 Mei 2015

Senja pagi di bukit Andalas

Engkau tak lihat
Bilamana senja pagi menyibak indah dari balik Andalas
Sesayu matamu
Sama tugu aku terpongah merasai Tuhan hadir disukmaku
Lembutnya
Sejuknya

Engkau tak rasa
Langit-langit yang centil mengecup
Seakan semesta pun mencinta kepadaku
Terengah
Berdegup
Hanyut aku disapa angan-anganku
Aku serah saja jiwaku penuh
Menghamba pada ruang yang ada
Sambil melihat perlahan embun mengaca
Indah kilaunya

Kau sama Cantiknya,
Serupa kukuhnya
Angkuhnya
Binarmu pun sama
Tak usai-usai aku dalam candu
Maka dekaplah aku, atau jelmalah embun dikakimu

Agar kau tahu betapa perih terik menguliti

Mencari II

Ibu, aku mati
Ini pergi atau kembali tak ku pahami
Andai saja ada sentir kerdip, Bu
Boleh terangi koreng-koreng pedih
Aku mati, Bu
Dalam lapar, amis tetap tak ku jumpa cahya itu
Entah lubang atau jurang
Entah pagi atau siang
Semua Cuma kelam, Bu
Gelam memeluk
Mendekap nafasku lebih erat dari hangatmu
Aku pun tak lihat lagi merah darahku, Bu
Hanya perih saja
Bu, ini pergi atau kembali tak ku pahami

Jemput aku dalam kesekaratan ini, Bu

Kamis, 09 April 2015

Kisah Anak Anjing

Memar benar mukamu
Serupa belatung didalamnya
Pasti air akan keruh kau kaca
“Inikah aku?”, tanyamu
Ha-ha, tentu! Sebegitu kelam di pandang
Tak ada harapan
“Biar saja mati!”, begitu kata Pagi sinisnya

Pantas saja! Kau si Anjing tak berkalung,
Makan pun dari mencuri kepada tikus
Atau memelas pada kucing tertawa
Menyedihkan benar kau Anjing kecil, tubuhmu penuh tukak
“Usir sajalah dia dari hidup!”, bahkan Malam ikut bicara

Bagaimana ia bisa mencari makan jika ia hanya seekor anjing?
Mungkin benar, “Mati sajalah dia! Pergi dari nyata!”
Takkah ia sadar segala ada hanya semu menjelma?
Ha-ha, naif benar si Anjing tukak ini

Menangis pun janganlah, tak usah!
Untuk apa? Kau fikir masih ada telinga di tempat sampah itu?
Lompat saja kesungai, lalu minum airnya sampai pecah
Bersujud pun percuma
Tak ada lagi kasih di tanah ini untuk kita
Bahkan aku pun hanya maya dari cerminmu: Si Anjing Tukak

Minggu, 05 April 2015

Kepalsuan Cinta

Hujan tak pernah sebasah ini
Dinding pun tak pernah selumut diam
Ketika aku memperdebatkan halaman retak
Seperti pecahan kaca yang menancap ditelapak kakiku
Terseok-seok aku mencari terang
Tapi kau memintaku menjadi malaikat
Agar bisa pantas bersamamu?
Kau tak pernah tau, Cinta:
Aku telah rela menjadi manusia dan meninggalkan langit hanya untukmu
Senja fana
Aku menampar wajah Tuanku untuk apa?
Untuk segelas susu?
Kau naif benar
Kau memintaku mengejarmu yang berlari
Untuk apa? Kepuasan nafsumukah?
Kau menyuruhku menebak hati yang tebal-tebal kau bungkus
Sial benar aku

Aku tak lagi ber-rumah
Hanya sisa kasih sayang-Nya lah aku mampu mengais hidup di kotor udara kalian manusia

Tunggu dulu!
Atau kau hanya jelma?
Bayang dari kepalsuan menjebak
Oh betapa sialnya aku,
Maka biar aku dipanggang api-Nya nanti
Biar saja belatung-belatung ini melumat dagingku
Lalu tidurlah kau dalam tawamu
Tawa yang pernah merayuku menjemputmu untuk bah’gia

Minggu, 29 Maret 2015

Pendosa 2

Tak nyaman Tuan
Sungguh
Tak nyaman
Tak enak berjalan sendirian
Sungguh
Tak enak Tuan
Bau sekali rasanya
Sangat malu aku kembali
Menjemput makan, dimandi cawanmu Tuan
Kumuh sekali
Malu aku

Tak sanggup rasanya wajahku disapa cah’yamu
Ku tunggu saja kabutku menggumpal
Biar dibawanya aku tenggelamsampai cuil demi cuil dicuri jaman
Biar saja Tuan
Hatiku kudung busuk

Dan jika lahir nanti anakku,
Bunuh dia Tuan!
Hasrat pun kan hidup disana
Sesuatu yang adat kami gelar ‘anugerah’(?)

Minggu, 22 Maret 2015

Indah

Aku tak ingin memeluk
Menelan bukanlah cinta
Ini resah hanya ingin melihat
Mencumbu pesona angan-angan
Lalu awan menyibak rambutmu
Terhampar suci kasih Tuhan dimatamu

Sekali lagi, aku tak ingin memeluk
Aku mencintai keadaan ini
Diatas langit membiru
Disini, dititik aku berdiri mencium aroma nusa
Mensyukuri segala anugerah

Semua lukisan ini, aku suka

Mencari

III

Aku menghadapmu
Dengan sebisa patuh
Tuan

Biarlah ku jelang dengan dingin menugu
Asal jangan kau bicara tentang kepantasan di mukaku
Biar ku sambut sepi
Asal aku tetap hidup dalam mati
Percuma aku memekik suaraku jika tak bisa kupastikan kau kan mendengar
Lara, murka menjadi karma
Apa untungnya?

Aku mencari untuk menyerah diri
Bahwa aku tak bisa apa
Kau pemunya
Toh tak ada gunanya ku cinta dia
Dengan segala kecemburuanmu aku menyerah

Minggu, 15 Februari 2015

Senja

Aku ingin mencintaimu dengan lebih sederhana
Tanpa ada lagi kata yang harus ku ucap
Serupa malam dan bintang
Serupa senja magenta
Tak perlu bicara untuk setia

Aku ingin mencintaimu untuk memiliki
Untuk terus melihatmu tersenyum
Menikahimu
Memeluk kesedihanmu pada pundakku

Aku akan mencintaimu dengan sangat sederhana
Untuk mengiringi, dan membiarkanmu hidup padaku

Langitmu

Noktah

Serupa payau ku teguk
Kering
Bukan lagi hangat, asin benar adanya
Entah bagaimana laut itu punya cerita
Ketika dara-dara hanya melamun pada cemara
Dahannya
Ya, ditepinya
Didekat benalu kurus mengasing
Hey, kenapa tak kau sapu saja, Dara?
Biar tampak indah
Sempurna tepatnya

Lalu tiba saja sore memintal
Dan juga entah bagaimana langit begitu patuh
Setia tak bertanya
Bilamana senja itu hilang-menghilangkan?
Sudahlah tinggal saja!
Tuan sudah bersabda

Sabtu, 31 Januari 2015

Pendosa

Keangkuhan terik takkan mampu memanggangku
Aku dicipta dari pati tanah
Tanah yang paling keras dibumi nusantara
Hayuh liat seberapa kerasnya jasadku!
Ambil peluru. Mana peluru? Tembaki aku!
Badai pun kecut menghadapku
Karena aku dicipta dari pati tanah
Tanah paling panas dinegeri pertiwi
Api-api dijemariku cukup untuk membuatmu menjadi arang-arang bertebaran

Aku ingin liar menjadi satwa
Aku bebas melebihi angin menusuk
Tapi apa yang kucari jika aku dicipta tanpa jiwa?
Bila  rongga dada ini kosong tak berisi, untuk apa?
Juga waktu lebih tangguh dariku
Toh dingin akan mempeusang diriku

Aku dicipta dari pati tanah paling keras lagi panas
Hidup untuk menjemput hampa dunia
Hidup untuk biak setan dalam dir

Hamba dicipta untuk berdosa?

Selasa, 13 Januari 2015

Dalam Kekelaman

Entah apa yang aku cintai dari kesenyapan ini teman
Bahkan kita tak perlu bicara. Jangan!
Kata hanya akan merusak heningnya
Meski entah apa indahnya irama ini, tapi itulah teman kita sekarang
Pekat bau lumut sudah cukup menjawab seberapa usangnya keresahanku

Tak banyak yang kita lihat kecuali bayang unggun menari-nari
Yang entah siang entah malam diluar
Biar sajalah! Aku mulai tak peduli apakah senja masih ada
Karena rayunya takkan mampu masuk kesini
Biar aku bercinta dengan ketenangan ini teman
Kau tau sendiri bagaimana aku bertahan lalu mati, lalu hidup lagi untuk terus mati

Entah apa yang aku cintai dari ruang hampa yang gelap ini
Padahal langit memiliki terang, padahal langit memiliki keindahan
Entah apa yang membawaku kesini, kepeluk gelap aku pergi
Entahlah!

Temanku, berjanjilah untuk tidak pernah mengatakannya:
Bahwa sebenarnya senja hadir disini sejauh ini
Bahwa ternyata ia juga ada pada diam, bahwa ia hadir pada kelam, bahwa ia bersama dingin menggigit

Bahwa akulah sang pendusta!