Selasa, 13 Desember 2016

Subuh

Tuhan
Maafkan aku yang beribadah secara sembunyi-sembunyi
Meski jaman ini sudah bebas beragama
Meski sudah bebas beraspirasi

Tuhan
Aku takut
Aku takut terseret kekeliruan masal ini
Biarkan aku menyembahmu sebagai diri
Belajar menjadi arif, belajar menjadi peduli
Karena sulit sekali aku menyembahmu sebagai seorang pemeluk
Bisa-bisa kami saling membunuh

Tuhan
Maafkan aku
Biarkan aku cukup menyembahmu secara sembunyi-sembunyi
Karena agamaku adalah keyakinanku atasmu
Bukan sebuah organisasi, institusi, status atau secarik kain bertiup angin
Karena ajaran-Mu adalah jalan, bukan dogma

Tuhan
Yakinkan aku dalam kalbu
Bahwa menyembahmu akan mengantarkanku pada kelembutan hati
Bahwa menyembahmu akan menuntunku pada ketajaman empati
Bahwa menyembahmu akan mengajarkanku pada kedamaian sejati

Dalam subuh yang diam-diam ini
Aku serahkan diri
Tuhanku,
Biarkan aku menyembahmu begini

Rabu, 23 November 2016

Penghujung malam

(Masih gemerincing rinai november membasahi diluar sana. Aroma seduhan kopiku tak tanggung syahdu, bahkan berkedip pun aku susah sungguh)

"Entah cinta seperti apa yang aku pahami. Aku pernah berjanji menjadi geraham terakhir bagimu, melengkapi kepingan cerita dan menemanimu membaui senja. Tapi gugusmu terlalu jauh. Kaku kakiku"

(Jam berdenting sedikit sekali, sunyi-sepi menyelinap masuk, mencoba merayuku larut)

"Ku sadari tanpamu aku dan spion itu takkan mampu berbisik gaduh. Tak ada lagi pelangi yang kan diam-diam kami nikmati. Tapi gugusmu terlalu jauh. Kecut hatiku"

(Sebentar lagi subuh dan aku masih ragu)

"Entah cinta seperti apa yang aku pahami. Sayang kau adalah bagian langit raya, dan atau aku yang terlalu biasa?"

(Dingin mulai menciumi. Khayalku semakin liar mencari-cari)

"Kekasih, adakah kau kan selembut dahulu? Memelukku dan menciumi pipiku, menjemputku ke dalam jantung kelam?"

(Dan aku pun rubuh)

"Kekasih, entah cinta seperti apa yang aku pahami. Dalam diam yang kan panjang nanti, ku harap hatimu dan hatiku menemukan jalannya. Semoga sampai tiba saatnya, ku dapati imanmu tetap seteguh itu"

Senin, 03 Oktober 2016

Pemabuk dan pemilik malam

Ya aku kira tak perlulah Tuan seserius itu
Dia kan belia masih
Lalai bersamanya

Ya aku kira tak perlulah Tuan semarah itu
Barangkali dia tak tahu
Dia kan belia masih

Ya aku kira biarkan sajalah
Tuan tak perlu tak memaafkannya
Kan barangkali dia tak tahu

Ya aku kira lanjutkan sajalah
Tak perlulah kita membahasnya
Kan Tuan tak perlu tak memaafkannya

Aku tinggal kerangka bukan salahnya
Nafas sepenggal-sepenggal juga karena malam menyengat
Yang aku tahu, semua tak lagi sama semenjak Tuan menuangkan anggur ke gelas kopiku

Kamis, 15 September 2016

Ingin lagi

Aku ingin menjadi balita yang lelap dalam dekap
Teduh
Damai dari takut dan resah

Aku ingin menjadi balita yang riang dalam main
Lepas
Damai dari takut dan resah

Aku ingin menjadi kanak-kanak sekali
Hidup bagi duniaku sendiri
Damai dari takut dan resah

Senin, 12 September 2016

Lelucon Tak Jenaka

Ini kamar paling laknat
Penghuninya seperti tak ber-Tuhan
Saban malam meracau-mengeluh

Ini kamar paling laknat
Tuhannya ada,
Tapi diam saja

Ini kamar paling bangsat
Kata hati malah merayu:
"Gagahi saja gadis sebelah sebelum subuh!"

Senin, 01 Agustus 2016

Nelangsa

Matamu.
Matamu telah mengutukku
Mengutukku untuk tidak kuasa menghukummu
Menghukummu atas segala kekesalan dan kekecewaan ini
Kekesalan dan kekecewaan yang terus saja seperti ini

Aku pun tahu,
Tahu bahwa ada sesak dalam dadamu yang ingin muntah
Muntahkan semua kejenuhanmu padaku
Aku pun tahu,
Tahu bahwa sayangmu seperti sayangku
Sayang yang mengutuk untuk tak mampu saling menghukum
Aku pun tahu,
Tahu serupa tahumu
Tahumu bahwa kita sudah lelah saling menjaga
Menjaga janji yang begitu kukuh
Hanya saja kita masih punya ego yang sama teguhnya

Ku harap tak ada tangis kali ini
Di senja sore ini
Senja oranye menyala

Maka sayangku, kita hukum saja diri kita masing-masing
Atas kesalahan masing-masing yang pantas untuk mendapat hukumannya
Agar kau dan aku sama bersedih, sama menyesalnya
Ku harap nanti kan datang hari dimana kau dan aku semesra dahulu
Saat ciummu lembut memagut mataku

Senin, 04 Juli 2016

Elegi kerinduan

Kau berjalan dalam kabut cemasmu
Tak dapat ku sentuh
Melesat gesit dalam kekhawatiran panjang
Tak sanggup ku kejar

Bait manteraku pun serta mencari-cari
Meneliti ke setiap celah nafas bumi
Adakah kau baik-baik saja?

Matamu ku lihat basah
Gemetaran bibirmu dalam doa
Adakah kau sedang sedih disana?

Kau memelukku lebih erat dari kepergianmu
Kau menciumku lebih hangat dari kepasrahanmu
Entah apa yang kau fikirkan saat ini
Tapi adakah kau tetap kasihku?

Mencintaimu serupa sakit
Kau paksa aku melihatmu seperti itu
Tak enak sekali

Bila saja datang masa bagiku
Biar aku akhiri semua nyinyirmu
Cukup peluk aku dengan sederhana
Rebahkan pipimu pada pipiku
Lumatkan dahagamu pada bibirku
Ada rindu yang menanti-nanti
Ada lembar yang tak dapat ku temui

Kau hamba pendoa
Menelanjangi kalbumu untuk mengabdi pada-Nya
Sedang aku tak jua bisa alpa dari mesramu

Kau lebih kokoh dari keras kepalaku
Lebih tangguh dari semangatku
Tetap begitu, aku mencintaimu

Sabtu, 21 Mei 2016

Sajak Wanita

Aku tidak suka wanita dengan cemburunya
Lebih menyusahkan ketimbang harus berhadapan dengan razia
Ribet

Aku tidak suka wanita dengan kecemasannya
Serupa cemas ibu menanti anaknya pulang bermain bola
Selepas itu sudah habis saja aku dimarahinya

Aku tidak suka wanita dengan prasangkanya
Lebih menyusahkan berkali-kali ketimbang harus mengahadapi cemburunya

Aku tidak suka wanita dengan situasi perasaannya
Mudah berubah
Dan tiap kali terjadi, selalu saja ada jari-jariku yang harus dipatahkannya

Aku tidak suka wanita dengan ngambeknya
Sama seperti harus menghadapi singa lapar yang hanya taring-taring tajam mereka saja yang siap bicara

Aku tidak suka wanita dengan isyaratnya
Rumit sekali
Tak sampai logikaku menjawabnya

Aku sangat tidak suka mereka karena:
Tak pernah salah!
Tak boleh salah!
Semua waktu adalah milik mereka

Aku sadar sekali betapa wanita menjadi sumber masalah
Sumber pengancam tidurku
Lebih-lebih pengganggu hari minggu

Tapi, itu yang membuatku akan terus berada disamping sebelah kiri wanitaku
Karena akulah penyempurna rumpang hidupnya
Karena setelah ayahnya, hanya aku yang akan bersabar diri menyadarkannya
Dengan cara yang lembut
Setulus cintanya

Tanpa segala kesusahan yang aku dapati darinya
Aku tak lain dari lelaki malas tanpa tanggung jawab
Lelaki cuek yang acuh yang hanya peduli dengan tidur dan hari minggu

Tak lekang sayangku
Tak surut niatku menjadikan dia wanita paling bahagia
Karena untuk menyusahkan hidupku itu ia telah meninggalkan syurga dan memilih bersamaku
Memilih menjadi manusia
Menjadi wanita

Jumat, 29 April 2016

Aku dan pagi miliknya

Ketika pagi datang, kegilaan entah apa namanya mendegup kencang sekali
Rindu pun berdesakan ingin pecah
Ingin keluar dari hatiku, dari sukmaku
Seperti secangkir kopi panas ditengah sawah, saat hujan menelan siang para petani
Ingin dikecup walau lidah ada resah

Lalu kutarik nafasku dalam dalam
Perlahan sekali ku henyuhkan, berharap sedikit lapang.
Biar ada istirahat barang sebentarlah rindu ini, ku fikir
Tapi tetap saja senyum centil si tupai itu merebut akalku
Lagi.
Dalam diam doa, aku pasrahkan rindu ini padanya
Seperti biasa

Sabtu, 12 Maret 2016

Pergi

Akulah si pengembara lapar
Mencari gila masuk kekampung-kampung singgah
Tidak untuk tinggal!
Hanya sedikit mengopi lalu pergi lagi jika sudah waktunya
Apa yang kucari? Tak ada! Kan aku pengembara
Sudahlah, tak usah kau tau siapa aku dulu
Pakai saja celanamu, malu, kau sudah tua.

Pun aku si penjudi nekad
Bertaruh apa saja
Asal candu lepas, biarlah.
Toh aku tak berumah
Tuan pun tak ada
Aku ini sama bebasnya dengan angin
Tapi aku lebih gila dari sekedar api
Dan aku lebih kesal dari sekdar kalah

Ada tukak bernanah yang tak bisa sembuh mengakar disini
Iya, disela-sela henyuh nafas sukma
Begitu harap cita dicabut, ternyata infeksi menjadi parah
Juga biarlah.
Apa pedulinya senja jika ayam menjadi buta
Toh ini urusan malam, enteng benar jawabnya

Jika nanti langit menerima ku kembali atau raja syurgawi memanggil, aku bisa apa?
Ya pulanglah kalau begitu
Mungkin kembali putar arah atau acuh lurus saja
Mungkin pula kerumah ibu tercinta, digubuknya yang dinding-dinding bambu penuh arca kecewa
Yang melukai kakiku hingga berdarah
Atau mungkin ada sepetak tanah didepan sana yang kan mempesiangku dengan istri jelita, dan patuh tentunya

Ini bukan tentang siapa dan kenapa
Aku tak peduli!
Aku tak lagi dilangit megah
Ini bumi segala bisa
Tak harus toh aku ikut titah sang nirwana?

Sabtu, 27 Februari 2016

Sajak tidak penting atau acuhkan saja!

Akhirnya, malu-malu senja nan kemuning itu menyibak bukit Andalas perlahan
Dingin yang berbenturan digigilku atau aku yang sedikit jauh dari unggun malam tadi, seperti serupa saja!
Siapa tau begini akhirnya, kau iring pagi yang cerah dan aku pergi kembali berpagut kepada kopiku, kedalam malam kamar

Disini berdesakan entahku jenuh
Seperti ada yang tak adil saja
Semoga itu perkara cemburu, semisal aku rindu pada senyum yang bisa saja bukan tercipta untukku
Ha-ha, semoga karena akulah malam yang tak diharapkan sawah sialan ini

Kamis, 18 Februari 2016

Hembus semi februari

Kayuh. Terus kayuh.
Biar cantik tunas2 itu tumbuh

Lahir dari balik bukit Andalas bagai dewi-dewi
Kau masih ayumu
Menari
Memanggilku utk merayu
Untuk bercandu

Senja, aku tak bisa.

Aku ragu kau masih dengan genggam yang sama
Pun aku tak lagi dalam cahya yang ada
Pekat sekali kini
Tak sama, Senja
Tak serupa!

Jangan jemput aku untuk pagi dan petangmu
Biar aku belajar menikmati terik ini
Ya, sedikit pedih. Panas sekali malah
Biar ku lihat tetap gelap
Tapi hatiku terasa hangat kini

Senja, aku tak bisa.

Kayuh. Terus kayuh
Biar sejuk dadaku
Walau kering biar saja
Karena aku merasa hangat dalam khayalku

Kamis, 04 Februari 2016

Aku menyerah

Betapa sepi serupa candu
Aku sudah menyerah pada manusia
Ini tubuh reot biar saja begini dalam kamar penuh lintah
Paling-paling nanti bernanah mati
Aku berasal dari sepi dan tiada!
Dan Tuanku menantiku disana
Lantas apa cemas?

Sekali lagi,
Betapa sepi serupa candu
Terkadang riuh tak sepenuhnya nyata
Malah banyak lidah-lidah mahir dengan dusta
Ah entahlah!
Dalam terang lebih pandai cahya berpura
Sama saja!

Jumat, 01 Januari 2016

Mika dan siang biru

(Masih)
Tak lari aku sedikitpun
Karena percuma, langit dan awan bisa menemukanku dalam kehausan
Seperti koreng-koreng ini mengering dan hilang perih
Ternyata panas lebih terik siang ini

Entah bagaimana aku bisa setegak ini
Entah bagaimana nafasku menggebu derasnya

(Masih)
Senyum Mika memelukku tanpa canggung
Bahunya ada, nyata
Suaranya pun masih sama renyah

Entahlah, kepada Tuan pemilik hamba, atau raja-raja disurgawi sana,
Sebelum siang biru ini menipuku hingga kering runtuh
Biarkan aku mencintanya
Mendekap Mika dengan teguh
Biarkan aku merasakan cinta berkecamuk diantara degup nadi
(Sekali ini saja)
Biarkan aku jatuh cinta disiang terakhirku
Dan merela meninggalkan langit murka
Menjemputnya. Mika.