Senin, 12 Desember 2022

Wasiat Lima Ratus Ribu Rupiah

Aku hanya menyukai suara sendunya membisik telingaku
Namun kau menari-tertawa dihempas digulung-gulung olehnya
Aku menyukai jingga perlahan turun mengecup dahimu
Kau malah tersenyum melihat pantulannya dari bola mataku
Aku ingin memeluk tubuhmu ketika malam mulai turun
Kau justru ingin menelanku lalu pergi

Aku suka sore di pantai sawarna ini
Ketika setidaknya bayangmu perlahan menghampiri kesepianku
Aku menyaksikan kau menyatu dengan samudera
Betapa riangnya wajahmu
Namun entah kenapa aku juga takut kau hilang bersamanya

Aku mencari-cari cara untuk menemukanmu pada setiap jeda
Kau berkali-kali menghindar ketika bayangmu mulai menyentuh jemari kakiku

Aku berusaha menahan perasaan ini, aku banyak takut
Sedang kau sekuat tenaga menggenapi, namun kau ingin bebas

Aku begitu suka sore yang sederhana ini:
Kau dengan gaun putihmu, langkah-langkah kecil kakimu, deru ombak yang merayu, sore yang semakin menyepi, pasir yang menjadi dingin
Aku hikmat sekali merayakan wasiat lima ratus ribu kita disini
Aku harap kau pun begitu
Selamat ulang tahun Dara Jelita
Maaf aku teramat malu menggandeng tanganmu
Tapi ingatlah, kita punya janji kelingking untuk terus hidup lebih lama

Sawarna, 11 Desember 2022

Senin, 19 September 2022

Takdir Cintaku

Tubuhku terlalu kerdil, sayang, bagi cinta yang menuntut keberanian sebesar itu untuk menjagamu
Aku lebih memilih tunduk pada hidup yang sesingkat ini
Sungguh maafkan aku

Tak kupahami takdi cinta ini, sayang
Tak kupahami sama sekali

Aku tak menyakiti seorang pun
Aku tak melukai diri sendiri
Aku hanya mencintaimu segenap jiwaku
Salahkah itu, langit?

Oh kekasih, jarak takkan mengubah apapun
Selama matahari bersinar mengantarkan bayangmu sampai ke kecupku, itu sudah cukup
Aku sebahagia-bahagianya
Meski bulan menggantikan, pantulan sinar gemintang kan memproyeksikan senyummu dalam dekap gelap
Aku akan selalu mampu merasaimu
Membaui aroma rambutmu memeluki menciumi sekujur jasadku

Tak kupahami takdi cinta ini, sayang
Tak kupahami sama sekali

Mengapa tak bisa aku menjaga cintamu utuh?
Mengapa kehidupan menjadikanmu pilihan?
Mengapa aku terjebak dalam situasi pelik pada nadir kehidupan?

Oh kekasih, aku rindu sekali padamu
Sentuhan jari jemari kecilmu pada pipiku, pada punggung tanganku, pada kedukaan dan keresahanku

Oh kekasih, kau selalu menempati istana sederhana yang ku bangun diatas tanah hamparan rasa
Kau akan selalu menjadi wanita mungilku
Yang akan selalu aku dapati dalam sedetik diam lamunanku

Tak kupahami takdir cinta ini, sayang
Tak kupahami sama sekali

Ijinkan aku menyimpan doa bagimu
Bagi keselamatan dan kebahagiaanmu
Atas setiap hari-harimu kelak hingga tua nanti
Akan terus aku buru sisa-sisa baumu di semua udara yang ada

Akan aku hukum diriku selamanya mengingatmu
Sungguh aku malu padamu sayang
Senyum manismu akan menjadi memoar kisah kita
Maafkan aku

Selasa, 19 Juli 2022

Cinta

Selamanya akan serupa ini
Sakit adalah luka yang kutau akan menjemput
Tapi candu sesaatnya terasa sepadan tuk dinikmati
Meski kelak beribu gejolak meronta-ronta dalam sukma

Anggur ini hilang mantera
Gelap ruang kamar seperti semesta melayang-layang
Entah aku atau lelah yang lebih dulu menyerah

Selamanya kan terus begini
Reinkarnasi terus berulang
Terlahir kembali untuk duka dan kecewa
Meski candu sesaat melenakan akal fikiran
Sekali lagi aku kan mencari-cari

Kufikir selamanya akan begini
Kekeliruan menjadi nadi kehidupan
Salah lalu lelah
Lahir dan bersalah kembali

Adakah yang lebih rasa dari kekekalan?
Adakah yang lebih kekal dari kefanaan?
Adakah yang lebih fana dari rasa ini?

Jakarta, 28 tahun usiaku

Minggu, 22 Mei 2022

Mengadu I

Ya Rabb, subuh ini aku menghadapmu kembali
Tiada tangis kali ini
Hanya resah yang semakin menggerogoti jiwa kecilku
Aku ingin mengadukan perbuatannya!

Aku fikir, kutukannya masih mengikuti diriku
Dia telah membohongiku, Ya Rabb, atas maaf yang diikrakannya ke angkas-Mu
Karena wajahnya masih tetap menghantui malam-malam hari
Setiap celah sepi yang aku temu
Selama ini

Ya Rabb-ku
Aku benar tak mampu menemukannya
Aku benar takkan mampu mengembalikannya dalam jangkauku
Aku benar telah kehilangannya
Seperti mantera terakhirnya ketika langit kota kami menjadi muram
Ketika badai bersiap menyapu seluruh indah

Sampaikan padanya berita kesakitanku ini
Sampaikan padanya betapa siksa ini membunuhiku berkali-kali
Sampaikan padanya bukan hanya sesal yang tertinggal di dadaku,
Tetapi juga cinta yang semakin bergelora

Minggu, 15 Mei 2022

Bukde-Pakde dan Pecel Lele

2 dini hari Jalan Fatmawati

Setengah sayu bulan menauingi keteguhan hati
Antara keringat dan lelah adalah upah sejak 90-an sudut kota ini
Berpindah dari emperan toko yang satu ke toko yang itu,
Digusur atau diusir,
Hujan atau sepi,
Entah mana yang paling tak asing bagi bukde dan pakde

Senja usia mereka terlihat pada sekujur kulit dan rangka
"Dimana letak pisau tadi?" menjadi perdebatan yang biasa
Bahasa kuno tentang cinta
Pengingat bagi mereka yang saling mengisi

Tak ada pewaris, tak ada pembantu
Mereka berangkat dan pulang beriringan
Menggandeng gerobak tua bak anak yang disayangi
Pelan dan perlahan mengikuti kecil-kecil lemah langkah
Sejak sore hari hingga toko menjelang beroperasi
Demi sebuah keyakinan:
Menggenapi takdir Ilahi

Lembut-santun ucapan mereka seperti sebuah ciri, tradisi
Senyum sepuh pengalih letih
Menipui semua yang singgah tadi

Makan dan teh hangat gratis setiap jum'at malam bagi si yatim dan piatu,
Bagi tukang parkir, pengamen, pejabat, peminta-minta, penipu, bahkan koruptor berdasi

Cukupkah untung bukde-pakde malam ini?
Adakah simpanan mereka?
Dan bagaimana nasib mereka bila saling mendahului nanti?
Apakah mereka akan tetap berkasih kepada kami?

Atas keteguhan yang kudus dan langit yang kutatap saat ini:
Apa yang mereka cari?

Kamis, 21 April 2022

Selamatkan Aku

Ku susuri sisa jalan ini, kasih
Lorong redup tanpa ujung
Sesak dadaku

Kubiarkan perasaan menghadirkanmu
Memenuh-sesaki fikiran
Hanya itu yang ku punya sekarang
Seluruh ingatan yang tertinggal
Yang menimpali bau lumut-lumut lembap di dinding masa lalu

Dalam gelap yang terus memburuku
Lemah harapan merintih-rintih
Adakah kau di ujung keputusasaan ini menungguku?

Sayang, hukum aku dengan apapun
Asal kau ada dalam jangkauku. Lagi
Pukul aku dengan seribu makian dan amarah
Namun peluk aku dalam cintamu. Lagi

Tanpamu adalah siksa yang tak mampu kukuasai
Kau sungguh keindahan penyembuh
Kau sungguh anggun yang memenuhi ruang nafasku
Adakah kau di ujung keputusasaan ini menunggu?
Atau lara yang kan menarik menuju kelam paling dalam nan abadi?

Selasa, 12 April 2022

Malam 10 Ramadhan

Aku menemuimu kembali malam ini
Untuk resah yang masih tak tersembuhkan
Untuk kerinduanku padanya yang terus menjangkiti

Tak kutemui kata yang paling mendekati makna sesal
Tak kutemui kata yang cukup sempurna mewakili kekosongan ini
Aku terhempas-hempas dalam gelap yang kucipta

Pada malam khidmat ini, ketika cahayamu menerangi setiap hati makhluk
Aku tetap merinduinya
Senyumnya terus menghantui, memenuhi
Di kediaman yang terus mencabik-cabik ruang-waktuku

Aku menemuimu kali ini untuk keputusasaan yang tak lagi terhitung
Aku menyerah padamu atas nyata yang tak kukehendaki
Kali ini, bisiki aku akhir dari kisah panjang
Isyaratkan padaku ayat-ayat yang kan menyembuhkan
Segenap hatiku meminta kemurahanmu

Aku menemuimu di malam sunyi tempat kutumpahkan seluruh tangisku
Aku kehilangan makna
Aku kehilangannya

Senin, 28 Maret 2022

Gadis Kecil Dalam Gerobak

Jalan Kapten Tendean menjelang setiap maghrib.

Aku akan memulai sajak ini dengan sebuah tanya:
Hidup? Apa itu Hidup?

Rumahku serupa ruas liang lahat
Tapi yang satu ini mampu berpindah dan beroda sepasang
Kiri-Kanan melengkapi

Aku memang tidak tidur bersama cacing atau serangga yang berusaha mengurai ragaku
Hanya sekumpulan botol sisa minuman, atau kardus, atau jika beruntung besi dan kaleng bekas terbuang
Mereka adalah syukur bagiku dan abah
Setiap saat kami.

Aku tak seperti bangkai-bangkai yang selamanya dikubur dan terkekang
Lebih baik, aku dapat menghirup pahitnya asap knalpot kendaraan
Aku juga dapat melihat pagi, siang, sore dan malam menguliti kaki abahku
Demi menyusuri tiap sudut Jakarta mencari makna atas pertanyaanku

Kulihat orang terburu-buru mengejar matahari
Dan kembali terburu-buru lagi menjemput malam
Aku bertanya, apa yang mereka cari?
Apakah botol, kardus, besi-besi atau kaleng bekas terbuang seperti kami?

Tidak, kami tidak tinggal diam dan bermalas-malasan
Seperti mereka, kami juga bergerak menjawab hidup
Bahkan sedikit lebih cepat dari siput bersama cangkangnya

Banyak sekali hal yang tak kukenal atas hidup yang begitu asing
Kata abah orang hidup untuk hidup
Tapi antara Diare atau TBC, aku tidak tahu mana dari mereka yang kan menjemputku lebih dulu
Kata abah orang hidup untuk makan
Tapi antara lapar dan sangat lapar aku sukar membedakannya
Kata abah orang hidup untuk berilmu
Tapi antara berguna dan bermanfaat aku buta aksara
Kata abah, barangkali orang hidup untuk membangun peradaban
Tapi peradaban kami hanya menjangkau hari esok

Lalu kata abah, orang hidup mencari sejahtera
Tapi bagiku, seorang gadis yang bernafas belum lebih dari 4 tahun ini, tidak tahu mana yang akan lebih tenteram:
Antara gerobak atau liang lahat

Ibukota Negara, Jakarta, Gerobak Abah, 28 Maret 2022

Minggu, 13 Maret 2022

Aku Pasti Sudah Gila

Malam merayuku untuk tetap terjaga
Menghasut khayalku mengembarai hari-hari yang entah nanti
Pagi di seberang sana telah siaga mengintai
Sedang senyum dan matamu masih bergantian melayang-layang
Aku fikir aku telah dikuasai

Sayangku, adakah yang lebih nikmat dari membersamaimu?
Jantung ini seketika mendegup-degup
Darahku menghantam karang keteguhan
Malam sekali lagi memaksaku tetap memikirkanmu

Gusarku semakin tak tertahan
Senyum dan matamu telah berhenti melayang
Namun kali ini ia mencengkram hatiku

Adakah yang lebih takut dari diriku tentang cinta?

Sabtu, 22 Januari 2022

Gadis Kecil dan Ibu Gajah

Jalan wijaya I pukul sembilan lebih sepuluh

Si gadis kecil berbaju merah menyala
Riang wajahnya; berani, penuh suka cita
Mimpi melayang-layang dan imajinasi menemani
Tersimpan harap tulus di dada, mengagungkan Tuhan atas nikmat yang senantiasa

Ibu Gajah tersenyum melihat anaknya; bahagia, merasa bersalah
Biru muda warna kulitnya itu lusuh dimakan terik
Sesekali basah oleh gerimis, seringkali basah oleh keringat dan rasa cemas
Malam nanti makan apa?

Jakarta,
Rumah bagi segala mimpi
Rumah bagi segala ilusi
Menjadi pusat informasi tak menjamin keadilan terdistribusi
Pusat pengetahuan tak serta merta memberikan kelayakan hidup
Pusat peradaban, namun peradaban bagi siapa?

Si gadis kecil naif melihat dunia penuh semangat
Ibu gajah melihat dunia penuh kecewa

Pada getirnya realita, mereka tetap bergandeng tangan begitu mesra
Untuk saling melengkapi, saling menguati
Berjalan menghitung malam, bulan demi bulan, tahun demi tahun

Gadis kecil berjalan diatas trotoar mengayun-ayunkan tangan ibu gajah
Bernyanyi, melompat-lompat, bertanya ini dan itu
Ibu gajah menginjaki aspal mengayun-ayunkan rasa lapar
Kadang ia bersyukur bidadari kecil itu menjadi teman hari-hari
Kadang mengelus dada menyesali kelahirannya
Pada dunia yang ternyata tak cukup indah

Suara malam di Jakarta adalah suara hati yang lelah para buruh, pengamen dan peminta-minta, pedagang-pedagang kaki lima, orang-orang yang tinggal di gerobak atau yang tidur beralas kardus di sepanjang trotoar jalanan
Juga suara motor para karyawan kantoran, mobil para bos, para pejabat, para aparat, para hedonis-hedonis dan narsistis
Terus bergantian mengisi jalanan, memenuhi setiap inci Jakarta

Jakarta milik mereka
Jakarta wajah mereka

Di jalan wijaya I pukul sembilan lebih sepuluh
Jakarta adalah sejarah bagi mereka yang setiap hari tertunduk-tunduk pulang kerumah
Mencari makna dari hidup yang berupa-rupa
Gadis kecil dan ibu gajah telah lama menemukannya:
Cinta.

Tapi...
Siapa peduli mereka?
Siapa yang kan mengenang mereka?

Jakarta, 22 Januari 2022

Rabu, 12 Januari 2022

Niscaya yang Kuamini

Dan Waktu bersujud pada Illahi
Berjalan tanpa keluh sekejap pun
Siang-malam bersujud pada Illahi
Bergantian hadir tanpa telat sedetik pun
Rumput dan ilalang tumbuh dengan rasa syukur
Menjulur-julur mencari ridho-Nya
Bintang gemintang melayang pada ruang penyembahan keagungan
Laut dan samudera beriringan menghempas-hempaskan kuasa-Nya yang dititipkan sementara
Memanggil angin membisikkan asma-Nya
Bagi seluruh jiwa-jiwa

Rabb itu tau betapa aku berserah segalanya
Atas yang aku suka atau yang tidak aku kehendaki
Rabb itu mengetahui betapa aku menundukkan hati dan pandangku
Pada maya dunia yang sangat fana
Pada kenikmatan-kenikmatan semu yang takkan lagi mampu kurasai

Benar pasang-surut taqwa masih di dada
Aku mencari-cari cahaya abadi tempat berpulang
Namun kehadiran kasih-Nya yang begitu lembut selalu memelukku dalam kesepian
Terus memberikan hangat pada hidup dan rasa yang semakin tak kupahami
Rabb itu sungguh tau betapa aku bersaksi atas keesaan-Nya
Namun rasaku padamu? Tetap serupa

Allah selalu membersamaiku, percayalah
Dan dirimu akan selalu mengharumi diamku
Damailah kau disana, di altar keanggunanmu