Sabtu, 22 Januari 2022

Gadis Kecil dan Ibu Gajah

Jalan wijaya I pukul sembilan lebih sepuluh

Si gadis kecil berbaju merah menyala
Riang wajahnya; berani, penuh suka cita
Mimpi melayang-layang dan imajinasi menemani
Tersimpan harap tulus di dada, mengagungkan Tuhan atas nikmat yang senantiasa

Ibu Gajah tersenyum melihat anaknya; bahagia, merasa bersalah
Biru muda warna kulitnya itu lusuh dimakan terik
Sesekali basah oleh gerimis, seringkali basah oleh keringat dan rasa cemas
Malam nanti makan apa?

Jakarta,
Rumah bagi segala mimpi
Rumah bagi segala ilusi
Menjadi pusat informasi tak menjamin keadilan terdistribusi
Pusat pengetahuan tak serta merta memberikan kelayakan hidup
Pusat peradaban, namun peradaban bagi siapa?

Si gadis kecil naif melihat dunia penuh semangat
Ibu gajah melihat dunia penuh kecewa

Pada getirnya realita, mereka tetap bergandeng tangan begitu mesra
Untuk saling melengkapi, saling menguati
Berjalan menghitung malam, bulan demi bulan, tahun demi tahun

Gadis kecil berjalan diatas trotoar mengayun-ayunkan tangan ibu gajah
Bernyanyi, melompat-lompat, bertanya ini dan itu
Ibu gajah menginjaki aspal mengayun-ayunkan rasa lapar
Kadang ia bersyukur bidadari kecil itu menjadi teman hari-hari
Kadang mengelus dada menyesali kelahirannya
Pada dunia yang ternyata tak cukup indah

Suara malam di Jakarta adalah suara hati yang lelah para buruh, pengamen dan peminta-minta, pedagang-pedagang kaki lima, orang-orang yang tinggal di gerobak atau yang tidur beralas kardus di sepanjang trotoar jalanan
Juga suara motor para karyawan kantoran, mobil para bos, para pejabat, para aparat, para hedonis-hedonis dan narsistis
Terus bergantian mengisi jalanan, memenuhi setiap inci Jakarta

Jakarta milik mereka
Jakarta wajah mereka

Di jalan wijaya I pukul sembilan lebih sepuluh
Jakarta adalah sejarah bagi mereka yang setiap hari tertunduk-tunduk pulang kerumah
Mencari makna dari hidup yang berupa-rupa
Gadis kecil dan ibu gajah telah lama menemukannya:
Cinta.

Tapi...
Siapa peduli mereka?
Siapa yang kan mengenang mereka?

Jakarta, 22 Januari 2022

Rabu, 12 Januari 2022

Niscaya yang Kuamini

Dan Waktu bersujud pada Illahi
Berjalan tanpa keluh sekejap pun
Siang-malam bersujud pada Illahi
Bergantian hadir tanpa telat sedetik pun
Rumput dan ilalang tumbuh dengan rasa syukur
Menjulur-julur mencari ridho-Nya
Bintang gemintang melayang pada ruang penyembahan keagungan
Laut dan samudera beriringan menghempas-hempaskan kuasa-Nya yang dititipkan sementara
Memanggil angin membisikkan asma-Nya
Bagi seluruh jiwa-jiwa

Rabb itu tau betapa aku berserah segalanya
Atas yang aku suka atau yang tidak aku kehendaki
Rabb itu mengetahui betapa aku menundukkan hati dan pandangku
Pada maya dunia yang sangat fana
Pada kenikmatan-kenikmatan semu yang takkan lagi mampu kurasai

Benar pasang-surut taqwa masih di dada
Aku mencari-cari cahaya abadi tempat berpulang
Namun kehadiran kasih-Nya yang begitu lembut selalu memelukku dalam kesepian
Terus memberikan hangat pada hidup dan rasa yang semakin tak kupahami
Rabb itu sungguh tau betapa aku bersaksi atas keesaan-Nya
Namun rasaku padamu? Tetap serupa

Allah selalu membersamaiku, percayalah
Dan dirimu akan selalu mengharumi diamku
Damailah kau disana, di altar keanggunanmu