Senin, 28 Maret 2022

Gadis Kecil Dalam Gerobak

Jalan Kapten Tendean menjelang setiap maghrib.

Aku akan memulai sajak ini dengan sebuah tanya:
Hidup? Apa itu Hidup?

Rumahku serupa ruas liang lahat
Tapi yang satu ini mampu berpindah dan beroda sepasang
Kiri-Kanan melengkapi

Aku memang tidak tidur bersama cacing atau serangga yang berusaha mengurai ragaku
Hanya sekumpulan botol sisa minuman, atau kardus, atau jika beruntung besi dan kaleng bekas terbuang
Mereka adalah syukur bagiku dan abah
Setiap saat kami.

Aku tak seperti bangkai-bangkai yang selamanya dikubur dan terkekang
Lebih baik, aku dapat menghirup pahitnya asap knalpot kendaraan
Aku juga dapat melihat pagi, siang, sore dan malam menguliti kaki abahku
Demi menyusuri tiap sudut Jakarta mencari makna atas pertanyaanku

Kulihat orang terburu-buru mengejar matahari
Dan kembali terburu-buru lagi menjemput malam
Aku bertanya, apa yang mereka cari?
Apakah botol, kardus, besi-besi atau kaleng bekas terbuang seperti kami?

Tidak, kami tidak tinggal diam dan bermalas-malasan
Seperti mereka, kami juga bergerak menjawab hidup
Bahkan sedikit lebih cepat dari siput bersama cangkangnya

Banyak sekali hal yang tak kukenal atas hidup yang begitu asing
Kata abah orang hidup untuk hidup
Tapi antara Diare atau TBC, aku tidak tahu mana dari mereka yang kan menjemputku lebih dulu
Kata abah orang hidup untuk makan
Tapi antara lapar dan sangat lapar aku sukar membedakannya
Kata abah orang hidup untuk berilmu
Tapi antara berguna dan bermanfaat aku buta aksara
Kata abah, barangkali orang hidup untuk membangun peradaban
Tapi peradaban kami hanya menjangkau hari esok

Lalu kata abah, orang hidup mencari sejahtera
Tapi bagiku, seorang gadis yang bernafas belum lebih dari 4 tahun ini, tidak tahu mana yang akan lebih tenteram:
Antara gerobak atau liang lahat

Ibukota Negara, Jakarta, Gerobak Abah, 28 Maret 2022